Fungsi Relief di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra
Relief Wayang
Relief Wayang, dari penelusuran yang penulis lakukan tidak ada satupun informan yang mengetahui tokoh, fungsi ataupun
mengapa relief tersebut ditempatkan di pertapaan ini, tapi menurut Darta
peneliti sebelumnya relief Wayang tersebut tidak dapat dihubungkan dengan
cerita Tantri. Namun dari segi gayanya menunjukan persamaan dengan relief
Wayang yang terpahatkan pada badan meru tumpang sebelas di Pura Taman Sari
Klungkung (Darta, 1986: 54). Untuk mengetahui fungsi dari relief Wayang tersebut
maka saya melahkukan perbandingan dengan relief – relief pewayangan yang ada di
candi – candi di Jawa Timur salah satunya adalah Candi Jago, candi ini
merupakan candi yang diketahui sebagai makam maha raja Wisnuwardhana, dilihat
dari arsitektur dan ragam hiasnya maka dapat diperkirakan candi ini berasal
dari zaman Majapahit akhir tahun 1272 saka atau 1350 masehi. Relief cerita Pewayangan
di candi ini terdapat pada cerita relief Parthayajna yang berceritakan tentang
perjalanan Arjuna ke gunung Indrakila guna melatih diri lewat tapabrata agar
memperoleh bantuan senjata dari dewa. Gunung Indrakila adalah tempat Arjuna
bisa berjumpa dengan para dewa, tetapi harus melalui Rsi Dwipayana, mahaguru
dalam ajaran dan praktek Sivadharma (Mulyadi, 2010: 17).
Jika dilihat dari keseluruhan penjelasan diatas
dapat dikatakan penggambaran dan fungsi relief Pewayangan di Candi Jago adalah
sebagai perwujudan dewa – dewa, para rsi ataupu Arjuna. Dilihat dari penggambaran
relief cerita Parthayajna yang ada di Candi Jago hampir memiliki kesamaan
bentuk dan ciri khasnya dengan relief Wayang yang ada di Pertapaan Gunung Kawi
Bebitra, jadi kemungkinan relief Wayang yang ada di Pertapaan Gunung Kawi
Bebitra di fungsikan sebagai pengambaran dewa – dewa, para rsi ataupun keluarga
pandawa dilihat dari perbandingan dengan relief Pewayangan di Candi Jago.
Relief Garuda
relief Garuda yang ada di Pertapaan
Gunung Kawi Bebitra, menurut informasi yang didapat relief Garuda tersebut
sebenarnya dulu adalah sebuah pertirtaan dimana dari mulutnya keluar air, ini
mengingatkan tentang mitos dari cerita Sang Garuda yang termuat dalam kitab Adi
Parwa, utnuk lebih jelasnya akan diceritakan sebai berikut.
Cerita
garuda ini berwal dari seorang Bhagawan yang bernama Kasyapa yang mempunyai dua
orang istri, yaitu Sang kadru dan Sang Winata. Sang Kadru, berputrakan seribu
ekor naga sedangkan Sang Winata berputra Sang Garuda dan Sang Aruna. Pada suatu
ketika, kedua istri dari Bhagawan Kasyapa itu bercerita tentang Kuda
Ucchaisrawa yang keluar dari pemutaran Gunung Madara Giri. Sang Kadru mengatakan
kalau warna kuda itu hitam, sedangkan Sang Winata mengatakan kuda itu berwarna
putih, karena terjadi perdebatan sehingga keduanya saling menaruh janji, siapa
yang kalah akan menjadi budak dari yang menang. Sang Kadru bercerita kepada
para naga tentang taruhan itu, mendengar cerita ibunya para naga memberitahu
bahwa warna kuda tersebut adalah putih. Sang Kadru merasa kalah dalam
pertaruhan itu karena salah menebak, dan seharusnya ia menjadi budak Sang
Winata, akan tetapi berkata bantuan para naga yang menyemburkan bisa kepada
Kuda Ucchaisrawa yang merubah warna kuda itu menjadi hitam. Akhirnya Sang
Winata kalah dan harus menjadi budak Sang Kadru.
Setelah
beberpa lama diperbudak oleh Sang Kadru, maka Sang Garuda anak dari Sang Winata
dimohonkan mencari tirta amerta (air
kehidupan) oleh para naga. Rupanya inilah syarat utama untuk membebaskan Sang
Winata dari perbudakan Sang Kadru, konon tirta tersebut dapat menyebabkan
seseorang bebas dari kematian. Akhirnya Sang Garuda mencari tirta amerta ke kahayangan sampai
berperang dengan para dewa termasuk Dewa Wisnu, akhir dari peperangan itu tidak
ada yang kalah dan menang, Dewa Wisnu pun mengadakan perjanjian dengan Sang
Garuda, bahwa Sang Garuda boleh mendapatkan tirta
amerta itu dengan catatan dia harus bersedia menjadi kendaraan dewa Wisnu
dan sang Garuda pun mensetujuinya.
Setelah tirta amerta didapatkan oleh Sang Garuda
yang kemudian diserahkan kepada para naga dengan syarat sebelum meminumnya
mereka harus mandi terlebih dahulu, maka para naga saling berebut untuk mandi
agar cepat dapat meminum tirta tersebut. Namun karena terlalu gembira, para
naga lupa dan meningalkan tirta itu begitu saja, maka datamglah Dewa Wisnu
untuk mengambil tirta itu kembali, akan tetapi karena terlalu tergesa-gesa
sebagian tirta jatuh dan menimpa daun ilalang yang ada disekitarnya, konon itu
yang menyebabkan lidah naga atau ular terbelah ujungnya, karena menjilat
sisa-sisa tirta yang jatuh di daun ilalang tersebut. Pada akhirnya Sang Winata
dapat dibebaskan dari perbudakan Sang Kadru oleh Sang Garuda (Widyatmanta,
1958: 62-63). Dapat dikatakan Fungsi dari relief Garuda adalah sebagai tempat pertirtaan
Relief Kalasungsang
Relief Kalasungsang. Kalasungsang
sendiri digambarkan sebagai raksasa yang berjalan menggunanakan tangan, dalam
mitologi Bali Kalasungsang juga disebut Banaspati. Kata kalasungsang sendiri
dapat diartikan sungsang atau nyungsang yang dalam kamus Bali Indonesia
diartikan terbalik. Sunsang yang diartikan terbalik, dan kala juga mempunyai
beberapa arti salah satunya berarti raksasa terbalik. Secara jelas dapat
dikatakan atau diterangkan terbalik disana adalah wujud fisiknya. Relief
Kalasungsang adalah raksasa yang dipahatkan dalam proses terbalik, oleh
masyarakat Kalasungsang sering pula disebut buta sungsang (Susilawati, 1994:
22).
Penggambaran Kalasungsang adalah kaki
dipahatkan diatas sedangkan kepala yang bermuka raksasa dengan gigi – gigi
besar dan taring runcing, mata melotot dipahatkan dibawah, penggambaran bentuk
seperti ini tentunya memiliki maksud-maksud tertentu, Fungsi dan tujuan
pemahatan tokoh yang menakutkan dan mengerikan dikaitkan dengan tujuan
reliegius magis dan sebagai simbol penolak bala dari hal negatif (Ambarawati,
2007: 7). Jadi dapat penulis simpulkan Fungsi dan tujuan dari pemahatan relief
Kalasungsang di pertapaan ini adalah sebagai simbol penolak bala dari hal
negatif dengan tujuan reliegius magis
Relief Dwarapala
Pertapaan ini juga menyimpan tinggalan
berupa dua relief Raksasa Dwarapala, ada tiga jenis Dwarapala yaitu berwujud
raksasa, binatang dan manusia sedangkang yang terpahatkan dipertapaan ini
adalah jenis berwujud raksasa. Relief dan arca Dwarapala biasanya ditempatkan
di depan pintu masuk pura, pelinggih, candi, atau sebuah pertapaan. Untuk
mengetahui fungsi dari relief Raksasa Dwarapala ini dilakukan perbandingan
dengan arca Dwarapala di Pura Kebo Edan Pejeng. Di Pura Kebo Edan Pejeng
terdapat arca Dwarapala yang berwujud raksasa dengan ciri – ciri seperti rambut
kriting, mata melotot, mulut terbuka dengan taring, memakai hiasan tengkorak
dan kain. Sikap berdiri dan kaki kanan agak diangkat keatas. Tangan kanan
memegang gada dan tangan kiri memegang mangkok dari tengkorak.
Fungsi dari arca Dwarapala ini kemungkinan
sebagai penjaga atau penolak bala dari hal negatif untuk Pura Kebo Edan
mengingat wajah yang seram dan memegang senjata gada (Ambarawati, 1993: 48).
Fungsi penempatan arca atau relief Raksasa Dwarapala dekat dengan kori agung
atau dekat candi, tidak merupakan hiasan belaka melainkan mempunyai makna
tertentu yang salah satunya adalah sebgai penjaga atau penolak bala dari hal
negatif, dari tempat yang terdapat arca atau relief tersebut. Walaupun berada
disatu tempat yang sama dengan relief Tantri yaitu Pertapaan Gunung Kawi
Bebitra tapi relief Raksasa Dwarapala ini ini benar-benar tidak ada
hubunganannya denga cerita Tantri, hal ini bisa juga dilihat dari fungsi relief
yang berbeda, menurut informan dan perbandingan dengan arca Raksasa Dwarapala
di Pura Kebo Edan Pejeng, relief Raksasa biasanya di fungsikan sebagai penjaga
atau sebagai simbol penolak bala dari hal negatif.
Relief Laki/Perempuan
Relief perwujudan manusia laki-laki dan
perempuan yang terdapat di Pertapaaan Gunung Kawi Bebitra terletak disebelah
selatan tepatnya sebelah timur ceruk pertapaan, dari penelusuran penulis tidak
ada informan ataupun masyarakat sekitar yang mengetahui fungsi dan siapa yang
terpahatkan di relief tersebut, informan Cuma mengetahui bahwa itu relief laki
– laki dan perempuan. Relief tersebut memang tak kelihatan begitu jelas
mukaknya, tapi jika diamati dengan seksama maka akan kelihatan mana yang
laki-laki dan perempuan. Relief laki-laki sendiri dipahatkan disebelah utara
dan yang perempuan dipahatkan disebelah selatan, Penggambaran tokoh manusia
dalam bentuk relief biasanya memiliki tujuan-tujuan khusus. Tujuan tersebut
bukan semata-mata berhubungan dengan seni dan keistimewaan tapi lebih cenderung
pada kepentingan religius (Ambarawati, 2007: 7).
Agar mengetahui fungsi dari penggamabran
relief laki-laki dan perempuan itu maka penulis melakukan perbandingan dengan
arca Dwarapala yang berwujud manusia di Pura Batan Kelecung Pejeng, karena
jenis Dwarapala tidak hanya berwujud raksasa melainkan ada yang berwujud
manusia. arca Dwarapala yang berwujud manusia di Pura Batan Kelecung
digambarkan dalam sikap duduk di atas lapik dengan lutut tertekuk keatas,
tangan bersilang diletakan diatas lutut dan dagu menindih pergelang tangan.
Hiasan lain yang masih dapat dikenali adalah anting – anting, ikat pinggang dan
gelang kaki, fungsi dari arca ini masih simpang siur karena tidak ada yang
mengetahui tempat asalnya, akan tetapi mengingat fungsi arca Dwarapala adalah
sebgai penjaga kemungkinan arca Dwarapala di Pura Batan Kelecung sebagai
penjaga pura tersebut (Ambarawati, 1993: 50).
Jadi dapat penulis katakan bahwa relief
penggambaran manusia yaitu laki – laki dan perempuan di Pertapaan Gunung Kawi
Bebitra itu sebagai penjaga, karena dibandingkan dengan arca Dwarapala berwujud
manusia di Pura Batan Kelecung Pejeng yang juga berfungsi sebagai penjaga,
karena penggambaran Dwarapala tidak hanya berwujud seram seperti raksasa tapi
ada juga yang berwujud seperti binatang dan manusia, jadi relief penggambaran
manusia laki – laki dan perempuan di pertapaan ini kemungkinan berkaitan dengan
konteks Dwarapala yaitu sebagai penjaga.
Relief Tantri
1. Fungsi Keagamaan
Menurut Darta (peneliti sebelumnya)
mengatakan, cerita Tantri secara umum mengandung ajaran kerohanian yang tinggi
yang dapat mengarahkan kejiwaan umat kepada kebenaran yang luhur (Darta, 1986:
52). Cerita Tantri dapat dijadikan cermin oleh orang yang mencari kebenaran.
Cerita Tantri juga sarat dengan kandungan nilai-nilai moral dan budi pekerti
serta dapat dijadikan cermin orang yang mencari kebenaran. Hal ini tetunya
sangat sesuai dengan ajaran serta tujuan hidup Agama Hindu yang disebut Catur
Parusa Artha yang meliputi dharma, artha, kama, dan moksa. Kata Dharma dapat
diartikan sebagai kebajikan atau ajaran yang segala sesuatunya dapat mendukung
orang mencapai kebenaran. Artha artinya benda-benda duniawi yang dapat
digunakan sebagai sarana untuk mencapai sesuatu, kama artinya keinginan atau
hawa nafsu sedangkan moksa artinya melepaskan keduniawian. Jika dilihat dari
keseluranhan cerita Tantri yang terdapat berupa cerita Anjing Sembada yang
akhirnya mati kekenyangan akibat nafsunya yang sangat besar untuk menghancurkan
persahabatan singa dan lembu, akan tetapi mendapatkan karmaphala berupa
siksaan.
Relief Tantri yang terpahatkan di
Pertapaan Gunung Kawi Bebitra selain mengandung ajaran-ajaran keagamaan dan
kerohanian, tetapi juga berfungsi sebagai pembimbing moral atau tingkah laku
dalam menjalankan hidup bagi para pengunjung dan masyarakat. Itu tercermin dari
cerita yang disajikan.
2. Fungsi Estetika (keindahan)
Segala
sesuatu yang berkaitan dengan keindahan disebut estetika, nilai estetika berarti
hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindra dan berhubungan langsung dengan
perasaan untuk menimbulkan suatu kepuasan bagi penikmat seni (Wiryani, 1987:
131). Seni bukan hanya gerak (tarian), suara (nyanyian) tetapi juga termasuk
didalamnya terdapat seni pahat dan seni ukir yang ditempatkan sebagai pahatan
pada dinding permanen berukuran besar (Kosasih, 1987: 16). Penempatan hiasan
jenis-jenis binatang pada bangunan dan elemen-elemen penghias ruang yang
menonjolkan bentuk-bentuk keindahan yang disempurnakan atau diabstrakan dengan
variasi penampilan untuk keindahan kompesisi ekpresi dan keserasian (Glebet,
1986: 375).
Fungsi Estetika (keindahan) yang ada
pada relief Tantri di pertapaan ini juga dapat dibandingkan dengan lukisan
dilangit – langit Kerta Gosa, dimana
ditempat ini juga terdapat lukisan yang mengulas tentang cerita Tantri
yaitu tentang persahabatan antara Lembu Nandaka dan Singa Pinggala. Menurut
Sumastra peneliti Kerta Gosa, mengatakan lukisan – lukisan yang terdapat di
Kerta Gosa dipakai sebagai hiasan pada plafon bangunan yang dilukis diatas
permukaan eternit, pada mulanya lukisan Kerta Gosa itu dilukis diatas kain. Penggantian
dari kain ke etenit dilakukan oleh pemerintah Belanda karena banyak dari
lukisan tersebut telah aus dan rusak, maka dilakukan perbaikan dan diputuskan
mengganti bahan lukisan dengan bahan yang lebih awet yaitu eternit, dalam
perbaikan tersebut pelukis diharapkan membuat atau meniru lukisan yang ada
sebelumnya. Selain digunakan sebagai hiasan lukisan tersebut juga difungsikan
sebgai penambah nilai keindahan (Sumastra, 1993: 93-94).
Relief
Tantri di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra merupakan salah satu relief di Bali
yang mengambil tema cerita Tantri. Relief ini selain berfungsi sebagai
dekoratif tapi juga berfungsi memberikan kesan estetika atau keindahan pada
dinding yang dihiasi. Hal ini juga dapat dilihat dari perbandingan dengan
lukisan Kerta Gosa yang lukisannya mengambil tema tentang Cerita Tantri salah
satunya tentang persahabatan Lembu Nandaka dan Singa Pinggala, hal ini sangat
mirib dengan apa yang di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra. Jadi dapat dikatakan
relief Tantri di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra juga memiliki fungsi sebagai
penghias atau menambah nilai keindahan di pertapaan tersebut.
Nilai yang Terkandung Dalam Cerita
Tantri di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra
Nilai
yang terkandung dalam cerita Tantri yang terpahatakan di Pertapaan Gunung kawi
Bebitra adalah Nilai Kokoh. Nilai Kokoh berkaitan erat dengan sikap teguh dalam
pendirian. Dimana diceritakan Lembu Nandaka sangat teguh pendirianya demi
menjaga persahabatannya dengan Singa Pinggala, meskipun si Anjing Sembada telah
berusaha semaksimal mungkin untuk memprovokasinya. Anjing Sembada justru
menyalahgunakan sikap teguh Lembu Nandaka untuk memprovokasi Singa Pinggala
dengan fitnahan-fitnahan. Anjing Sembada mengatakan bahwa Lembu Nandaka tetapa
bersikukuh pada pendirianya tidak percaya dan tidak mau mengakui kesaktian
Singa Pinggala sebelum mereka mengadu kesaktian. Karena doprovokasi atas dasar
keteguhan hati itulah akhirnya Singa Pinggala berhasil dihasut dan kemudian
bertarung kesaktian dengan Lembu Nandaka. Pada akhirnya keduanya tewas dan
menjadi santapan Anjing Sembada.
Namun, kematian Lembu Nandaka dan Singa
Pinggala merupakan kematian yang didasari atas sikap teguh dalam pendirianya,
kematian ini disebut kematian yang membawa kebahagiaan. Lembu Nandaka mencapai alam Dewa Siwa dan Singa Pinggala kembali
ke alam Dewa Wisnu, sedangkan Anjing Sembada akhirnya mati kekenyangan akibat
nafsunya yang besar menghancurkan persahabatan Lembu Nandaka dan Singa
Pinggala, dalam kematianya Anjing Sembada mengalami siksaan setiap helai
bulunya (Suarka, 2011: 8-9). Dilihat
dari pemaparan cerita diatas dapat dikatakan bahwa tokoh binatang dalam cerita
Tantri yang terdapat di Pertapaan Gunung Kawi Bebitra yaitu berupa Lembu dan
Singa merupakan binatang suci yang berkaitan erat dengan dewa-dewa Agama Hindu,
serta cerita tersebut juga menggambarkan hukum karmaphala (hasil perbuatan)
dimana Anjing Sembada yang memprovokasi persahabatan Lembu Nandaka dan Singa
Pinggala akhirnya mati dengan penuh siksaan.
Semoga Bermanfaat salah kata mahap!!!!!!!